Kapan Sebaiknya Menggunakan Protokol MQTT, Coap, Http dalam Sistem IoT

Pendahuluan: MQTT dalam Konteks IoT
Message Queuing Telemetry Transport (MQTT) adalah protokol komunikasi yang dirancang khusus untuk kebutuhan Internet of Things (IoT). MQTT menggunakan model publish/subscribe dan berjalan di atas TCP/IP. Protokol ini dibuat agar ringan (lightweight) dan efisien, dengan overhead data minimal, sehingga cocok untuk perangkat dan jaringan yang terbatas sumber dayanya. Dalam arsitektur MQTT, terdapat broker (server MQTT) yang menjadi perantara semua pesan. Perangkat IoT bertindak sebagai klien yang dapat mempublikasikan pesan ke sebuah topic tertentu, atau berlangganan (subscribe) ke topic untuk menerima pesan. Pola komunikasi ini berbeda dengan protokol seperti HTTP atau CoAP yang bersifat request/response. Berikut akan dijelaskan kapan MQTT sebaiknya digunakan dibanding protokol lain (HTTP, CoAP, WebSocket), termasuk kelebihan, kekurangan, dan kaitannya dengan efisiensi bandwidth, latensi, komunikasi real-time, serta konsumsi daya perangkat IoT.
Skenario dan Kondisi Ideal untuk MQTT
MQTT umumnya menjadi pilihan utama pada skenario-skenario berikut:
- Jaringan Terbatas atau Tidak Stabil: MQTT sangat efektif pada jaringan ber-bandwidth rendah, latensi tinggi, atau koneksi tidak stabil. Overhead datanya yang sangat kecil (header minimum ~2 byte) membuatnya efisien mengirim pesan-pesan kecil secara cepat. Protokol ini dirancang agar tetap handal meskipun jaringan lossy atau mengalami delay besar.
- Komunikasi Asinkron dan Real-time: Karena berbasis publish/subscribe, MQTT mendukung komunikasi data secara push (asinkron) dari perangkat ke server dan sebaliknya melalui satu koneksi yang persistif. Ini ideal untuk aplikasi real-time yang memerlukan update instan atau pengiriman perintah segera. Begitu data dipublikasikan ke broker, semua klien yang berlangganan topik tersebut akan menerimanya nyaris seketika (latensi sangat rendah) tanpa perlu polling seperti pada HTTP. Contohnya, MQTT digunakan dalam monitoring industri dan telemedicine untuk transmisi data sensor atau pasien secara real-time.
- Perangkat Terbatas Daya dan Resource: MQTT cocok untuk perangkat IoT yang punya daya, CPU, dan memori terbatas (misal sensor bertenaga baterai). Protokol ini didesain ringan: format pesan biner yang ringkas, dengan overhead minimal. Mengirim data yang lebih kecil berarti perangkat radio hanya aktif singkat, membantu menghemat energi. Selain itu, parsing paket MQTT yang kecil lebih hemat CPU dibanding protokol berbasis teks seperti HTTP yang membutuhkan parsing header besar. (Catatan: untuk perangkat sangat terbatas, protokol CoAP bisa lebih hemat lagi karena berjalan di UDP tanpa koneksi terus-menerus – pembahasan di bagian CoAP vs MQTT).
- Multi-Client (Broadcast) dan Skalabilitas: Dengan MQTT, satu pesan dapat didistribusikan ke banyak klien sekaligus melalui topik (one-to-many). Hal ini ideal untuk skenario seperti ratusan sensor mengirim data ke satu backend, atau satu perintah dikirim ke ribuan perangkat. Broker MQTT akan mengurus routing pesan ke semua subscriber terkait. Pola ini lebih scalable dibanding model HTTP yang bersifat satu-ke-satu (client-server). Penambahan perangkat baru juga mudah – cukup subscribe ke topik yang relevan tanpa memodifikasi perangkat lain.
- Kebutuhan Reliability (Jaminan Pengiriman): MQTT memiliki mekanisme Quality of Service (QoS) berjenjang untuk menjamin pengiriman pesan: QoS 0 (at most once), QoS 1 (at least once), QoS 2 (exactly once). Jika aplikasi IoT Anda butuh kepastian bahwa pesan sampai (misal pengiriman peringatan kritis atau update konfigurasi), MQTT menyediakan jaminan lebih dibanding protokol tanpa QoS. Broker MQTT juga bisa menampung/menyimpan pesan sementara jika perangkat tujuan sedang offline, lalu mengirimkannya saat perangkat reconnect (dengan sesi persisten). Fitur offline buffering ini sangat membantu untuk koneksi yang terputus-putus atau perangkat yang tidur (sleep mode).
Singkatnya, gunakan MQTT apabila aplikasi IoT Anda memerlukan komunikasi data yang efisien, real-time, mendukung banyak perangkat secara bersamaan, dengan unreliability jaringan, serta perangkat ujung yang tidak kuat menjalankan protokol berat. Selanjutnya, kita bandingkan MQTT dengan protokol lain (HTTP, CoAP, WebSocket) untuk menyoroti kapan MQTT lebih unggul.
No | Materi | Tanggal | Waktu | Harga | Lokasi | View | Action |
---|---|---|---|---|---|---|---|
1 | IOT PLC SCADA Siemens | 7-8 Juni 2025 | 08.00 - 16.00 | 2000000 | Surabaya | https://bisaioti.com/kursus-plc/siemens/fast-track/ | https://lab.bisaioti.com/courses/training-iot-plc-scada-siemens/ |
2 | IOT PLC SCADA Omron | 14 - 15 Juni 2025 | 08.00 - 16.00 | 2000000 | Surabaya | https://bisaioti.com/kursus-plc/omron/fast-track/ | https://lab.bisaioti.com/courses/training-iot-plc-scada-omron/ |
3 | IOT PLC SCADA Schneider | 21-22 Juni 2025 | 08.00 -16.00 | 2000000 | Surabaya | https://bisaioti.com/kursus-plc/schneider/fast-track/ | https://lab.bisaioti.com/courses/training-iot-plc-scada-schneider/ |
4 | IOT PLC SCADA Allen Bradley | 28-29 Juni 2025 | 08.00-16.00 | 2000000 | Surabaya | https://bisaioti.com/kursus-plc/allen-bradly/fast-track/ | https://lab.bisaioti.com/courses/training-iot-plc-scada-allen-bradley/ |
MQTT vs. HTTP: Kapan Memilih MQTT?
HTTP adalah protokol web (HyperText Transfer Protocol) yang umum dan berbasis request/response. Berikut perbandingan dan skenario pemilihan MQTT ketimbang HTTP:
- Overhead dan Efisiensi: HTTP merupakan protokol teks yang cenderung “berat” untuk IoT. Setiap transaksi HTTP mengirim header-header teks (misal metode, URL, status) yang ukurannya bisa beberapa ratus byte, bahkan untuk payload kecil. MQTT jauh lebih efisien: header MQTT minimum hanya 2 byte, sedangkan satu request HTTP bisa membawa overhead ~8 byte bahkan setelah kompresi. Studi benchmarking menunjukkan untuk pengiriman banyak pesan, total data yang dikirim MQTT jauh lebih kecil daripada HTTP. Sebagai ilustrasi, mengirim 100 pesan MQTT membutuhkan ~44 KB data, sedangkan HTTP untuk 100 request bisa di atas 550 KB. Artinya, pada transmisi data berkala/sering, MQTT sangat menghemat bandwidth dibanding HTTP.
- Konektivitas dan Latensi: MQTT menggunakan satu koneksi TCP persistif untuk mengirim/terima banyak pesan bolak-balik. Setelah koneksi MQTT terbangun, pesan dapat terus mengalir dua arah tanpa perlu handshake lagi. Sebaliknya, komunikasi HTTP biasanya stateless – setiap request bisa membuka koneksi baru atau menggunakan koneksi yang di-keep-alive sebentar. Walau HTTP/1.1 mendukung keep-alive, overhead protokol (headers, TCP handshake tiap koneksi awal, dsb) tetap menambah latensi per pesan. Dalam pengujian, rata-rata latensi per pesan MQTT bisa hanya puluhan milisekon bila koneksi dipertahankan, sedangkan HTTP cenderung ratusan ms karena overhead request-response setiap kali. Jadi untuk data streaming/pembaruan cepat, MQTT lebih responsif.
- Pola Komunikasi: HTTP bekerja dengan pola request/response – cocok untuk permintaan data atau tindakan tertentu dari client ke server. Namun, IoT sering membutuhkan pengiriman data sensor periodik dan pemberitahuan/push dari server (misal perintah ke actuator) tanpa diminta terlebih dahulu oleh perangkat. MQTT unggul di sini karena mendukung push dari kedua arah dalam satu koneksi. Server (broker) dapat setiap saat meneruskan pesan ke klien yang subscribe (tanpa perlu diminta) – hal yang sulit di HTTP kecuali menggunakan long polling atau server-sent events yang kurang efisien.
- Skalabilitas & Banyak Klien: Pada HTTP, setiap perangkat IoT harus berkomunikasi langsung dengan server dan server harus menangani setiap koneksi secara individual. Jika ratusan perangkat secara bersamaan request HTTP, beban server meningkat linear. MQTT, dengan broker sebagai perantara, dirancang menangani ribuan koneksi secara efisien. Broker dapat mengantri pesan dan mendistribusikannya ke banyak klien tanpa duplikasi proses pengiriman oleh pengirim. Untuk aplikasi dengan banyak device dan frekuensi komunikasi tinggi, HTTP server tradisional bisa kewalahan, sedangkan broker MQTT lebih siap karena arsitektur pub/sub-nya.
- Ketersediaan Fitur IoT: HTTP tidak memiliki fitur khusus IoT seperti session persistence, QoS, retained message, last will, dsb. Semua itu harus diimplementasi manual jika pakai HTTP. MQTT menyediakan bawaan: misalnya retained message (broker menyimpan pesan terakhir di topik agar subscriber baru langsung dapat “nilai terbaru” tanpa menunggu update berikut), atau Last Will & Testament (broker mengumumkan jika perangkat terputus tiba-tiba) untuk memantau status koneksi perangkat. Dalam konteks IoT, fitur-fitur ini sangat berguna dan out-of-the-box di MQTT, sementara HTTP harus mengandalkan mekanisme lain.
Kapan HTTP lebih tepat? Meskipun MQTT umumnya lebih cocok untuk IoT daripada HTTP, ada beberapa kondisi di mana HTTP bisa dipertimbangkan:
- Jika perangkat sudah memiliki client HTTP tertanam dan backend yang tersedia hanya mendukung HTTP. Misalnya perangkat lama yang hanya bisa kirim data via HTTP ke suatu API cloud.
- Untuk pengiriman data yang sangat jarang atau volume data sangat kecil (misal hanya sekali sehari mengirim laporan singkat). Dalam kasus ini, overhead melakukan koneksi MQTT mungkin tidak terbayar. MQTT butuh fase CONNECT di awal sesi (sekitar beberapa ratus byte) yang justru lebih besar dari satu request HTTP tunggal. Jadi kalau perangkat hanya kirim satu pesan dan langsung putus, HTTP bisa lebih sederhana. (Namun perlu dicatat, skenario IoT jarang sekali hanya 1 pesan; umumnya perangkat mengirim data berkala. MQTT dirancang untuk jangka panjang, sehingga keuntungan efisiensi muncul saat koneksi dipakai terus-menerus.)
- Jika tidak diperlukan komunikasi dua arah sama sekali dan tidak ada kebutuhan push ke device. Misal perangkat cuma submit data sensor ke server dan tidak pernah menerima perintah dari server. HTTP dapat digunakan untuk POST data sederhana. Tetapi jika suatu saat perlu mengirim perintah ke device, HTTP kurang fleksibel (perlu polling), sedangkan MQTT sudah siap untuk interaksi dua arah.
Intinya, MQTT lebih unggul untuk sebagian besar kasus IoT (lebih hemat bandwidth, mendukung push, dll). HTTP bisa dipakai untuk kasus sederhana dengan frekuensi rendah atau sekadar memanfaatkan infrastruktur web yang sudah ada, tapi dengan kompromi tidak mendapat kelebihan MQTT.
MQTT vs. CoAP: Kapan Memilih MQTT?
CoAP (Constrained Application Protocol) adalah protokol aplikasi lightweight lainnya yang didesain untuk perangkat terbatasi (constrained devices). Berbeda dengan MQTT yang di atas TCP, CoAP berjalan di atas UDP dan mengadopsi gaya request/response mirip HTTP (meski bisa juga diimplementasi pub/sub via observe pattern). Berikut perbandingannya:
- Overhead & Efisiensi Jaringan: CoAP sangat hemat overhead – format pesan biner, header sangat kecil, dan karena berbasis UDP tidak ada handshake koneksi tiap kirim data. Untuk satu transaksi data kecil, protokol ini bisa lebih efisien daripada MQTT, karena MQTT meskipun ringan tetap membawa overhead TCP (SYN, ACK, dll) dan header MQTT sendiri. CoAP unggul dalam skenario pengiriman pesan sangat ringkas dan jarang. Contoh: sensor suhu yang tidur lama dan bangun hanya sekali per jam untuk kirim 20 byte data – CoAP dapat mengirimnya dalam 1 datagram UDP singkat. MQTT di sisi lain membutuhkan membuka (atau menjaga) koneksi TCP sehingga ada sedikit overhead tambahan. Jadi, jika efisiensi per bit adalah prioritas utama dan pola komunikasinya request/response sederhana, CoAP patut dipertimbangkan.
- Konsumsi Daya & Resource: Karena paketnya kecil dan tidak perlu menjaga koneksi terus menerus, CoAP sangat ramah untuk perangkat yang sangat terbatas daya dan memori. Perangkat dapat tidur, lalu saat butuh mengirim data cukup mengirim satu paketan UDP (tanpa proses koneksi panjang). MQTT biasanya membutuhkan perangkat menjaga koneksi tetap hidup (meski ada opsi keep-alive interval yang bisa diperpanjang). Pada perangkat yang super terbatas (misal sensor dengan baterai coin cell), CoAP bisa lebih menghemat energi daripada MQTT. Namun, perlu diperhatikan bahwa MQTT-SN (MQTT for Sensor Networks) tersedia sebagai varian MQTT yang berjalan di atas UDP, ditujukan untuk environment sensor yang sangat constrained sebagai alternatif CoAP.
- Reliability (Jaminan Pengiriman): MQTT menyediakan QoS tingkat tinggi (misal QoS 2 untuk exactly once) dan karena berbasis TCP, pengiriman dasar dijamin oleh TCP. Sementara CoAP tidak memiliki QoS sekuat MQTT. UDP tidak menjamin paket sampai, jadi CoAP menggunakan mekanisme confirmable message (ACK) untuk memastikan penerimaan, yang secara efektif mirip QoS 1 (at least once). Tidak ada mekanisme exactly once sekuat QoS 2 MQTT pada CoAP. Dengan kata lain, untuk data sangat krusial yang tidak boleh hilang atau duplikat, MQTT lebih aman. Sebaliknya, CoAP cocok untuk data yang kurang sensitif terhadap sedikit kehilangan atau bisa dikirim ulang secara periodik (misal bacaan sensor lingkungan yang dikirim terus-menerus – kehilangan 1-2 paket bukan masalah besar).
- Model Jaringan & Skalabilitas: CoAP bersifat peer-to-peer (tanpa broker) dan menggunakan alamat URI seperti HTTP untuk resource. Ini cocok untuk local network atau mesh antar perangkat. Misal dalam satu pabrik, sensor bisa langsung GET/PUT ke actuator menggunakan CoAP. Desain tanpa broker membuat CoAP sederhana, tetapi untuk integrasi cloud skala besar bisa jadi tantangan: perlu gateway atau server HTTP/CoAP untuk mengumpulkan data. MQTT dengan broker terpusat justru memudahkan konsolidasi data dari banyak node ke cloud. Skalabilitas: CoAP sebenarnya sangat scalable di level jaringan (karena overhead rendah bisa menangani banyak perangkat), tetapi tidak ada broker bawaan yang menyediakan layanan seperti antrian pesan, manajemen sesi, dsb. Anda perlu membangun sendiri jika perlu fitur tersebut di atas CoAP. Dalam banyak kasus, arsitektur hibrid dipakai: CoAP digunakan di tingkat edge (misal sensor berkomunikasi dengan gateway lokal), lalu gateway tersebut meneruskan data ke cloud via MQTT. Hal ini memanfaatkan keunggulan CoAP di perangkat sangat kecil, dan keunggulan MQTT di komunikasi jarak jauh ke cloud.
- Kemudahan Firewall dan Internet: CoAP menggunakan UDP port (default 5683) dan belum seumum HTTP/MQTT di lingkungan internet. Lalu lintas UDP kadang diblokir firewall perusahaan, juga CoAP bisa disalahgunakan untuk DDoS jika langsung di-expose ke internet publik. MQTT lebih umum digunakan over TCP port 1883 atau 8883 (TLS), dan bisa juga lewat WebSocket 443 sehingga menembus proxy/firewall HTTP. Jadi, untuk aplikasi lintas internet, MQTT biasanya lebih mudah deploy daripada CoAP yang lebih cocok di lokal atau jaringan terkontrol.
Kapan CoAP lebih tepat? CoAP sebaiknya dipilih jika Anda memiliki perangkat yang sangat sederhana dengan daya super terbatas atau lingkungan jaringan lokal yang membutuhkan overhead serendah mungkin. Contoh: sensor pertanian bertenaga baterai kecil yang hanya butuh kirim data singkat ke gateway, smart meter listrik yang mengirim pembacaan tiap jam – CoAP efektif di sini. Juga jika tim developer Anda menginginkan antarmuka ala RESTful (GET/POST) yang familiar, CoAP memberikan model serupa dalam versi ringan. Namun, bila aplikasi Anda nanti perlu integrasi cloud, banyak perangkat tersebar luas, atau jaminan pengiriman, maka MQTT lebih layak dipilih atau dikombinasikan di tingkat lebih tinggi.
MQTT vs. WebSocket: Kapan Memilih MQTT?
WebSocket sebenarnya bukan protokol aplikasi IoT, melainkan protokol komunikasi full-duplex yang umumnya digunakan untuk menghubungkan browser web dengan server agar bisa saling mengirim data secara real-time. Perbandingan utamanya dengan MQTT sebagai berikut:
- Tujuan Desain: MQTT dibuat spesifik untuk IoT (perangkat terbatas, jaringan tak stabil), sementara WebSocket diciptakan untuk aplikasi web/browser agar bisa membuka koneksi TCP persistif melalui port HTTP (80/443). WebSocket sendiri tidak mendefinisikan format pesan khusus atau topik; ia hanyalah tunnel yang memungkinkan klien dan server saling kirim pesan bebas. Karena itu, WebSocket sering digunakan untuk fitur real-time di web (chat, notifikasi, dsb), tapi perlu protokol aplikasi tambahan jika mau struktur pub/sub seperti MQTT. Banyak aplikasi web akhirnya membuat protokol custom di atas WebSocket (misal menambahkan konsep rooms, events, dsb) untuk meniru pub/sub.
- Arsitektur & Distribusi Pesan: WebSocket bersifat koneksi one-to-one – satu klien terhubung ke satu server. Jika server ingin mendistribusikan pesan ke banyak klien, itu diimplementasi di logika server (mengirim secara terpisah ke tiap klien). Sebaliknya, MQTT one-to-many lewat broker: satu publish dapat otomatis didistribusikan ke banyak subscriber tanpa implementasi tambahan di sisi penerbit. Ini membuat MQTT lebih sederhana untuk membangun komunikasi grup/broadcast. Use case: Jika ratusan sensor perlu menerima satu pesan perintah serentak, dengan MQTT cukup publish ke satu topik (broker yang urus penyebaran). Dengan WebSocket, server harus loop kirim ke 100 koneksi – overhead dan kompleksitas lebih tinggi.
- Quality of Service & Reliability: WebSocket tidak menyediakan jaminan QoS di level protokol selain yang disediakan TCP. Artinya tidak ada ack per pesan, tidak ada retry otomatis, dll kecuali Anda membangunnya sendiri di aplikasi. MQTT unggul dengan QoS 1 & 2 bila perlu kepastian pesan sampai sekali saja. Juga, WebSocket tidak punya mekanisme built-in untuk mengantri pesan ke klien yang offline. Jika koneksi WebSocket putus, pesan yang dikirim saat offline akan hilang kecuali aplikasi server menahannya. Di MQTT, broker akan mengantri pesan untuk klien yang disconnect (dengan QoS>0) dan mengirim setelah klien tersebut online kembali. Fitur ini krusial untuk IoT yang koneksinya bisa intermittent.
- Overhead dan Efisiensi: WebSocket sendiri relatif ringan dibanding HTTP karena sekali handshake, data berikutnya bisa dikirim terus. Namun, dibanding MQTT, WebSocket masih membawa overhead ekstra. Misalnya, frame WebSocket dari client ke server harus dienkripsi masking, menambah 4-6 byte per pesan. Data internal WebSocket juga sedikit lebih besar (header frame) daripada header MQTT yang minimal 2 byte. Pengujian menunjukkan throughput MQTT di atas TCP lebih tinggi daripada MQTT melalui WebSocket, apalagi untuk payload besar. Juga, handshake awal WebSocket (HTTP Upgrade) membuat koneksi awal lebih lambat: koneksi MQTT langsung (port 1883) hanya butuh ~0.5 KB data, sedangkan MQTT over WebSocket (upgrade di port 80/443) butuh >1 KB. Bagi perangkat IoT berdaya rendah, proses ekstra ini dan parsing HTTP upgrade bisa jadi beban tambahan. Singkatnya, WebSocket kurang optimal di lingkungan perangkat sangat terbatas atau jaringan irit data.
- Browser dan Platform: Satu keunggulan WebSocket adalah dukungan langsung di browser web (JavaScript) tanpa plugin. Jika Anda perlu menampilkan data IoT secara live di web dashboard, WebSocket adalah salah satu cara mengalirkan data ke frontend. Namun, menariknya, MQTT dan WebSocket bukan kompetitor langsung melainkan bisa komplementer. Anda dapat menjalankan MQTT over WebSocket – artinya, frontend web membuka koneksi ke broker MQTT melalui protokol WebSocket. Ini memanfaatkan infrastruktur WebSocket (port 443 yang mudah melewati firewall) namun tetap mendapatkan fitur MQTT di level aplikasi. Banyak broker (termasuk cloud IoT services) mendukung endpoint MQTT over WebSocket.
Kapan memilih WebSocket (tanpa MQTT)? Jika Anda membangun aplikasi web atau mobile yang tidak melibatkan perangkat IoT berdaya rendah, dan hanya perlu komunikasi real-time antara app dan server, WebSocket sudah memadai. Contoh: notifikasi live ke aplikasi web, game online, chat server – di sini MQTT tidak memberi keuntungan berarti dan malah menambah komponen (broker). WebSocket cocok untuk aplikasi internet umum atau perangkat yang tidak terlalu terbatas resource. Namun, untuk sistem IoT yang melibatkan banyak perangkat embedded, terutama jika membutuhkan struktur topik, multi-subscriber, dan manajemen koneksi jangka panjang, MQTT lebih tepat. WebSocket murni bisa digunakan di perangkat IoT juga, tapi Anda harus membangun banyak fitur manual (topic subscription, offline handling, etc.) yang sudah disediakan MQTT. Secara praktis, kebanyakan arsitektur IoT memilih MQTT sebagai core komunikasi, dan jika perlu integrasi web, mereka membuka akses broker via WebSocket untuk dashboard/web clients.
Kelebihan Utama Protokol MQTT
Beberapa kelebihan MQTT yang menjadikannya pilihan populer di IoT:
- Overhead Rendah & Hemat Bandwidth: Seperti telah dibahas, MQTT sangat ringan. Header minimum 2 byte dan format binary yang efisien membuatnya hemat penggunaan bandwidth. Ini ideal untuk jaringan seluler berkuota atau jaringan satelit mahal. Dengan data lebih sedikit, latensi end-to-end pun turun. MQTT mampu bekerja baik di jaringan yang unreliable maupun latency tinggi tanpa membebani jaringan.
- Publikasi/Subscribe Fleksibel: Arsitektur pub/sub MQTT memberikan fleksibilitas tinggi dalam pengembangan solusi. Kita dapat dengan mudah menambah sensor atau layanan baru cukup dengan subscribe/publish topik terkait, tanpa mempengaruhi komponen lain. Banyak klien dapat berkomunikasi dan berbagi data secara multicast logis melalui topik. Pola ini mendukung integrasi sistem yang kompleks dengan banyak produsen dan konsumen data secara longgar (loose coupling). Broker juga bisa di-bridge atau di-cluster untuk skala besar.
- Manajemen Koneksi dan Offline: MQTT dirancang menghadapi koneksi IoT yang sering tidak stabil. Broker secara otomatis mengatur antrian pesan untuk klien yang terputus sementara (selama QoS 1/2). Jadi perangkat dengan koneksi fluktuatif (misal device bergerak dengan sinyal seluler naik-turun) tetap bisa mendapat semua pesan ketika reconnect. Fitur Last Will juga memastikan sistem lain tahu saat perangkat mati mendadak. Hal-hal ini meningkatkan keandalan sistem IoT secara keseluruhan tanpa perlu coding ekstra di sisi perangkat.
- Efisiensi Energi pada Perangkat: Dengan pengiriman data yang minimal, MQTT membantu mengurangi konsumsi daya transmisi di perangkat edge. Waktu radio aktif lebih singkat untuk mengirim payload+header MQTT ketimbang protokol berbasis teks yang lebih panjang. Selain itu, karena komunikasi asynchronous, perangkat bisa mengirim data lalu kembali ke mode low-power sambil broker menhandle sisanya. MQTT umumnya lebih hemat energi daripada HTTP dalam jangka panjang untuk workload IoT. (Perlu diingat bahwa menjaga koneksi TCP tetap hidup ada biaya kecil untuk keep-alive ping, tapi ini bisa disetel intervalnya sesuai kebutuhan daya.)
- Skalabilitas dan Interoperabilitas: MQTT telah menjadi standar de facto komunikasi IoT, didukung luas oleh komunitas dan industri. Tersedia banyak library MQTT untuk berbagai platform (C/C++, Python, Java, JavaScript, Arduino, etc), sehingga mempermudah integrasi di beragam perangkat. Cloud IoT platform besar (AWS IoT, Azure IoT, GCP IoT) mendukung MQTT sebagai protokol utama. Hal ini membuat MQTT pilihan yang aman secara interoperabilitas jangka panjang. Broker MQTT juga bisa menangani jumlah koneksi sangat besar (ratusan ribu klien) dengan resource server yang relatif sedikit, apalagi dengan arsitektur cluster.
- Keamanan: MQTT mendukung TLS untuk enkripsi transport sama halnya dengan HTTPS, sehingga data dapat dilindungi. Juga ada mekanisme autentikasi (username/password, atau sertifikat TLS) untuk memastikan hanya perangkat terotorisasi yang bisa connect. Walau keamanan bukan keunggulan unik MQTT (HTTP/CoAP juga bisa diamankan, CoAP via DTLS), ekosistem MQTT telah matang dengan dukungan ke IoT security (misal integrasi OAuth via broker). Dengan koneksi persistif TLS, overhead handshakenya sekali di awal, bukan berulang tiap pesan (lebih efisien daripada HTTPS untuk banyak pesan kecil).
Kekurangan dan Pertimbangan MQTT
Meski banyak kelebihan, MQTT memiliki beberapa kekurangan atau keterbatasan yang perlu diperhatikan dalam memilih protokol:
- Butuh Komponen Broker: Berbeda dengan HTTP atau CoAP di mana perangkat bisa langsung berkomunikasi client-server, MQTT membutuhkan broker sebagai perantara. Ini artinya arsitektur sistem lebih kompleks karena harus menyiapkan dan mengelola broker (self-hosted atau layanan cloud). Dalam sistem kecil, menambah broker mungkin dianggap overhead tambahan. Namun, banyak implementasi broker open-source (Mosquitto, EMQX, HiveMQ, dll) yang cukup ringan dan mudah deploy.
- Tidak Optimal untuk Pengiriman Sangat Jarang: Seperti dibahas sebelumnya, MQTT kurang efisien jika perangkat hanya mengirim data sangat sesekali. Overhead koneksi awal (CONNECT/SUBACK) akan terasa jika setiap kali hanya satu pesan lalu disconnect. HTTP/CoAP lebih pas untuk pola komunikasi yang sangat sporadis dan tidak butuh koneksi terus-menerus. Tentu jika perangkat bisa menjaga koneksi MQTT terbuka sepanjang hari, ini bukan masalah. Tapi untuk perangkat tidur berbulan-bulan dan bangun kirim 1 pesan, maybe protokol tanpa koneksi persistent lebih tepat.
- Berbasis TCP (reliability vs latency trade-off): MQTT mewarisi kelebihan & kekurangan TCP. Di satu sisi, TCP memastikan urutan dan delivery, tapi di sisi lain pada jaringan lossy, retransmisi TCP dapat menambah latensi. CoAP/UDP bisa lebih gesit karena fire-and-forget (walau bisa ada loss). Untuk aplikasi yang sangat latency-sensitive dalam jaringan stabil lokal, CoAP atau bahkan protokol realtime UDP custom bisa mengungguli MQTT. Namun untuk sebagian besar aplikasi IoT, keunggulan jaminan TCP lebih diutamakan daripada perlu latensi deterministik.
- Ukuran Paket Maksimum: MQTT membatasi ukuran pesan ~256 MB (cukup besar untuk IoT). Tapi untuk kasus streaming data besar (misal video streaming), MQTT tidak dirancang untuk itu – protokol streaming khusus atau WebSocket murni lebih tepat. MQTT ideal untuk pesan kecil hingga sedang. Pengiriman file besar via MQTT bisa dilakukan tapi kurang efisien.
- Tidak Didukung Natively di Browser: Jika salah satu endpoint komunikasi adalah web browser, perlu upaya ekstra karena browser tidak bisa membuka koneksi MQTT raw. Solusinya menggunakan MQTT over WebSocket atau jembatan HTTP, yang sedikit meningkatkan kompleksitas. Namun, library JS seperti MQTT.js mempermudah hal ini dan banyak broker sudah mendukung WebSocket, jadi ini minor drawback yang bisa diatasi.
- QoS 2 vs Kinerja: Meskipun MQTT punya QoS persis sekali (exactly once), penggunaannya bisa membebani karena butuh langkah handshake tambahan. Jika aplikasi tidak benar-benar butuh exactly-once (kebanyakan IoT cukup QoS1 at least once), hindari QoS2 agar tidak memperlambat sistem.
Mengetahui keterbatasan ini, terkadang kombinasi protokol digunakan. Contoh, seperti disebut sebelumnya: perangkat sensor super kecil pakai CoAP ke gateway, lalu gateway pakai MQTT ke server. Atau data rutin via MQTT, tapi update firmware besar dikirim via HTTP/HTTPS terpisah. Kuncinya, pilih protokol sesuai kebutuhan spesifik perangkat dan aplikasi.
Contoh Aplikasi dan Perangkat yang Cocok Menggunakan MQTT
Berdasarkan karakteristik tadi, jenis aplikasi IoT dan perangkat berikut sangat cocok menggunakan MQTT:
- Monitoring Jarak Jauh & Telemetri: Contohnya pipeline minyak/gas yang dilengkapi sensor tekanan, mendeteksi kebocoran, dsb. MQTT digunakan untuk menjamin tiap pesan alarm sampai ke pusat dengan andal. Contoh lain, vehicle telematics pada kendaraan terhubung – data performa dikirim real-time ke cloud melalui MQTT.
- Otomasi Industri (Industrial IoT): Pabrik dengan banyak mesin dan sensor (vibrasi, suhu motor, dll) menggunakan MQTT agar data dari mesin dapat dipantau terpusat dan perintah kontrol dapat dikirim ke mesin secara realtime. MQTT cocok karena lingkungan pabrik mungkin punya ratusan perangkat yang perlu komunikasi reliabel ke sistem SCADA/monitoring.
- Smart Home dan Perangkat Rumah Tangga IoT: Banyak perangkat smart home (lampu, sensor pintu, thermostat DIY, dll) mengadopsi MQTT untuk berkomunikasi dengan hub rumah (misal Home Assistant). Alasannya, MQTT ringan untuk mikrokontroler (ESP8266/ESP32), dan mudah untuk pola event-driven (contoh: sensor gerak publish “terdeteksi”, lampu subscribe dan langsung menyala). Protokol ini juga umum di platform hobbyist karena kesederhanaannya.
- Aplikasi Real-time Notification: MQTT cocok untuk sistem notifikasi yang harus mendorong data secara instan ke banyak klien. Misal proyek smart city untuk peringatan bencana: sensor gempa publish data, aplikasi subscriber (termasuk sirine, app warga) menerima within seconds. Hal-hal seperti alarm kebakaran terhubung, sistem keamanan juga diuntungkan oleh latensi rendah MQTT.
- Perangkat Mobile atau Edge yang Terhubung Seluler: MQTT banyak dipakai pada alat kesehatan wearable yang kirim data pasien (denyut jantung, oksigen) ke telemedicine server, atau asset tracking device yang mengirim lokasi via jaringan seluler secara periodik. Di jaringan seluler, hemat bandwidth = hemat biaya dan baterai, sehingga MQTT sangat ideal.
- Smart Metering & Lingkungan: Pengukur pintar (listrik, air, gas) serta sensor lingkungan (polusi udara, cuaca) yang tersebar bisa menggunakan MQTT untuk melaporkan data secara efisien ke cloud. MQTT mampu menangani ribuan meter mengirim data per menit dengan overhead minimal. Banyak proyek smart metering mengedepankan efisiensi daya – meter bisa tidur dan hanya sesekali terhubung MQTT untuk kirim data, memanfaatkan QoS untuk keandalan.
Perangkat-perangkat IoT yang memiliki keterbatasan memori/CPU (misal berbasis microcontroller) dan keterbatasan daya (battery-operated) termasuk golongan yang paling diuntungkan oleh MQTT. Tentu, harus dipastikan perangkat tersebut mampu menjalankan TCP/IP stack; hampir semua modul WiFi/ETH modern bisa, dan modul seluler juga. Untuk perangkat sensor yang bahkan tidak mampu TCP/IP, MQTT-SN di UDP bisa jadi alternatif, atau pakai CoAP tergantung kebutuhan.
Efisiensi Bandwidth, Latensi, Real-time, dan Daya pada MQTT
Terakhir, mari kita rangkum keterkaitan MQTT dengan efisiensi bandwidth, latensi, kebutuhan real-time, dan konsumsi daya:
- Efisiensi Bandwidth: MQTT didesain sangat hemat bandwidth. Dengan overhead sekecil 2 byte per pesan, protokol ini memastikan sebagian besar byte yang dikirim di jaringan adalah data inti-nya, bukan metadata protokol. Ini kontras dengan HTTP yang mengirim banyak header text (misal
"GET /path HTTP/1.1\r\nHost:..."
). Pada jaringan bandwidth rendah (contoh: 2G, LoRa, satelit), MQTT memungkinkan komunikasi tetap berjalan lancar di mana protokol lain mungkin berat. Bandwidth efisiensi juga berarti biaya data lebih rendah ketika menggunakan jaringan seluler berbayar. - Latensi: Dengan koneksi yang selalu terbuka dan komunikasi yang push-based, MQTT mampu menekan latensi komunikasi. Perangkat tidak perlu menunggu untuk melakukan handshake setiap kali kirim data. Begitu data siap, langsung publish ke broker melalui socket yang sudah terbentuk, dan broker seketika push ke subscriber. Uji performa menunjukkan latensi per pesan MQTT bisa jauh di bawah HTTP (contoh: ~47 ms vs ~289 ms saat mengirim 10 pesan berturut-turut). Hal ini memenuhi kebutuhan komunikasi nyaris real-time pada banyak aplikasi IoT. MQTT sering dipakai di skenario di mana waktu respon harus cepat, misal remote control perangkat (menyetel thermostat, menggerakkan robot) atau alert kritis (alarm gas bocor). Selama infrastruktur jaringan mendukung, MQTT menambahkan sangat sedikit latensi di atas delay jaringan itu sendiri.
- Kebutuhan Komunikasi Real-time: MQTT sangat cocok untuk komunikasi real-time karena sifatnya yang event-driven. Tidak seperti polling (yang intrinsik ada delay dan inefficiency), model publish/subscribe MQTT membuat data langsung dikirim saat itu juga ketika event terjadi. Misal pada sistem monitoring real-time, sensor cukup publish ketika ada data baru, subscriber segera mendapatkan notifikasi. Jika dibanding WebSocket murni, MQTT memberikan kerangka topik dan manajemen sesi yang mempermudah pengelolaan banyak aliran data real-time sekaligus. Reliabilitas MQTT (QoS) juga penting untuk real-time: data penting dapat ditandai QoS1/2 agar tidak hilang di jalan. Contohnya pada telemedicine, MQTT menjamin data pasien tiba tepat waktu dan lengkap ke dokter. Secara keseluruhan, MQTT memenuhi tiga pilar komunikasi real-time IoT: low latency, push delivery, dan reliability.
- Keterbatasan Daya Perangkat Edge: Pada perangkat IoT yang bergantung pada baterai, setiap byte yang dipancarkan dan setiap detik radio aktif menguras energi. MQTT membantu meminimalkan itu dengan transmisi data ringkas dan komunikasi efisien. Selain itu, protokol ini mengurangi overhead komputasi di perangkat – memproses paket MQTT kecil jauh lebih hemat energi ketimbang parsing protokol berbasis teks yang panjang. Dengan MQTT, perangkat dapat menghabiskan lebih sedikit waktu online (bisa lebih cepat kembali ke mode sleep). Satu pertimbangan: koneksi TCP persistif berarti perangkat sesekali perlu wake up untuk kirim pesan keep-alive (misal setiap beberapa menit sekali beberapa byte) – namun interval ini dapat diatur panjang sesuai kemampuan baterai. Banyak device IoT berhasil beroperasi bertahun-tahun dengan baterai karena MQTT memungkinkan efisiensi komunikasi. Bahkan dibanding protokol lain, MQTT disebut ideal untuk perangkat low-power dan jaringan terbatas. Tentu untuk kasus perangkat sangat low-power (misal sensor pakai energy harvesting), bisa perlu evaluasi antara MQTT vs CoAP; namun secara umum MQTT memberikan keseimbangan bagus antara efisiensi daya dan keandalan komunikasi.
Kesimpulan: MQTT dan Pentingnya Memahami Protokol IoT dalam Otomasi Industri
MQTT terbukti unggul sebagai protokol komunikasi IoT yang ringan, scalable, real-time, dan andal—terutama pada lingkungan dengan keterbatasan bandwidth, daya, atau koneksi yang tidak stabil. Dibandingkan protokol lain seperti HTTP, CoAP, atau WebSocket, MQTT menawarkan efisiensi bandwidth, kemampuan push, dan jaminan pengiriman data (QoS) yang membuatnya sangat cocok untuk perangkat embedded, sistem M2M, hingga integrasi cloud di dunia industri.
Namun, tidak semua protokol cocok untuk semua skenario. Pemilihan yang tepat memerlukan pemahaman terhadap kebutuhan proyek: mulai dari volume dan frekuensi data, topologi jaringan, hingga keterbatasan perangkat keras. Di sinilah pengetahuan teknis menjadi sangat penting.
🎓 Ingin memahami MQTT dan protokol komunikasi industri lainnya secara praktis dan mendalam?
bisaioti.com menyediakan pelatihan profesional di bidang PLC, SCADA, dan IoT yang dirancang untuk teknisi, mahasiswa, maupun pelaku industri. Dalam pelatihan ini, Anda tidak hanya belajar teori, tapi juga langsung praktik membangun sistem monitoring dan kontrol real-time menggunakan MQTT, Node-RED, ESP32, hingga integrasi ke dashboard berbasis web.
🚀 Gabung training plc di bisaioti.com dan kuasai kunci komunikasi IoT di era Industri 4.0!
Referensi:
- Ian Craggs (2024). MQTT vs. HTTP for IoT – HiveMQ Blog
- HiveMQ Team (2022). MQTT vs. CoAP for IoT – HiveMQ Blog
- EMQX Team (2024). MQTT vs CoAP: Comparing Protocols for IoT Connectivity
- WebbyLab (2023). Top IoT Protocols – MQTT, CoAP, etc.
- Ably (2024). MQTT vs WebSocket – Which Protocol to Use
- Integra Sources (2024). Choosing MQTT Protocol for IoT Devices